Mayoritas dengan adanya daya saing UMKM di Indonesia terkena dampak yang cukup signitifkan selama pandemi Covid – 29. Berdasarkan hasil survei ADB (2020) berjudul “Impact of Covid – 19 on MSMEs”, terdapat sekitar 48,6% UMKM yang tutup sementara. Adapun sekitar 30,5% permintaan domestik UMKM turun, 14,1% melakukan pembatalan kontrak dengan UMKM, dan 13,1% UMKM mengalami hambatan pengiriman. Sementara, menurut Analisa Hasil Survei Dampak Covid – 19 terhadap Pelaku Usaha oleh BPS (2020) juga menunjukkan bahwa sebagian besar UMKM atau sebanyak 69,02% membutuhkan suntikan bantuan modal usaha.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan, UMKM sejatinya adalah salah satu ujung tombak untuk mendukung perekonomian Indonesia. Untuk memenangkan persaingan di masa pandemi, pelaku UMKM perlu berinovasi dalam memproduksi barang dan jasa sesuai dengan kebutuhan pasar. selain itu, para pelaku usaha pada umumnya, dan UMKM pada khususnya, juga dapat mengembangkan berbagai gagasan baru di bidang kewirausahaan sosial untuk turut berkontribusi dalam memecahkan berbagai persoalan sosial ekonomi masyarakat akibat dampak pandemi.
Untuk itu, di akhir 2020, Pemerintah melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) telah menyerap anggaran untuk Dukungan UMKM sebesar Rp112,44 triliun atau 96,7% dari pagu sebesar Rp123,47triliun. Kemudian ditahun ini, pagu anggaran tersebut dinaikkan menjadi Rp184,83 trilun karena digabungkan dengan anggaran untuk korporasi juga.
Neraca Perdagangan Indonesia (NPI) pada 2020 mengalami surplus sebesar US$21,74 miliar dan menjadikan yang tertinggi sejak 2012. Namun sesuai data, konstribusi UMKM terhadap ekspor hanya sebesar 14,37% lebih rendah dibandingkan negara lainnya diAsia, seperti Singapura (41%), Malaysia (18%), Thailand (29%), Jepang (25%), dan Tiongkok (60%).
Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kemenko Perekonomian Musdhalifah Machmud menambahkan, Permintaan saat ini sedang berupaya memacu peningkatan ekspor, antara lain dengan menjaga pasar ekspor, fokus pada pelaku UMKM yang berorientasi ekspor, melakukan penetrasi ke pasar non – tradisional, utilisasi PTA/FTA/CEPA, serta reformasi regulasi melalui Undang – Undang (UU) Cipta Kerja.
Khusus untuk mendorong peningkatan kontribusi UMKM terhadap ekspor, Pemerintah memberikan insentif fiskal bagi Pusat Logistik Berikat (PLB) IKM melalui penangguhan PPN dan Bea Masuk, serta Kemudahan Impor untuk Tujuan Ekspor (KITE) IKM melalui pembebasan PPN dan Bea Masuk.
“Dukungan pemeritahan untuk meningkatkan daya saing UMKM dilakukan melalui pemberanian insentif fiskal dan non fiskal, kemudahan izin berusaha, sertifikasi, dukungan promosi, informasi pasar ekspor dan kemudahan akses pasar, serta dukungan permodalan, baik melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR), Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB), Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL), maupun Bantuan Pelaku Usaha Mikro (BPUM),” katanya dalam webinar bertajuk “Saatnya Menembus Pasar Global: Mendorong Peningkatan Daya Saing UMKM”, diJakarta, kemarin.
Dari segi regulasi, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan dan Pemberdayaan Koperasi dan UMKM di Indonesia sebagai aturan pelaksanaan UU Cipta Kerja. Aturan ini mengatur lebih spesifik mengenai bentuk dukungan bagi Koperasi dan UMKM agar lebih berdaya saing.
Sejalan dengan itu, sejumlah program juga dilaksanakan untuk menciptakan pelaku ekspor baru dari kalangan UKM, yakni penciptaan 1.500 UKM eksportir melalui upaya fasilitasi informasi, peningkatan daya saing produk, kerja sama, promosi dan citra, serta peningkatan SDM; pembinaan bagi pelaku usaha berorientasi ekspor oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI); dan fasilitasi UKM pedesaan untuk ekspor melalui business matching dengan pelaku usaha swasta dan eksportir.
Demikian artikel kita hari ini membahas tentang Peningkatan Daya Saing UMKM Sebagai Ujung Tombak Perekonomial. Semoga bermanfaat.